Ads 468x60px

Featured Posts

Saturday, August 19, 2017

MERDEKA TUNTAS, PILAR TUJUH BELAS.

Indonesia kita, mari bersama kita jaga. 
Bersama kerabat menyusuri jalan jalan di Singapura, pikiran saya bercabang dua. Pertama membandingkan suasana perayaan Hari Negara negeri jiran yang hanya ditandai seremoni sehari di panggung Marina plus satu dua bendera kecil yang menempel di jendela apartemen. Kontras dengan kemeriahan masyarakat kita yang kibaran merah putih menghiasi setiap sudut negeri plus suguhan lomba dan kegiatan di setiap gang kota dan desa.

Kedua, saat mengamati arsitektur gedung yang cantik ikonik, saya teringat gedung sekolah kami yang sedang dalam tahap pembangunan. Jika selama ini sekolah mewah hanya bisa dirasakan mereka yang berkantong tebal, maka memaknai kemerdekaan ini kami ingin bangun gedung megah full fasilitas tapi terjangkau untuk semua kalangan termasuk mereka yang miskin.

Gedung ini memang belum jadi. Bangunan ini memang belum indah. Masih banyak puing dan bahan bangunan berserakan. Meski demikian pantang bagi kami menengadahkan tangan meminta sumbangan. Silahkan mengulurkan tangan asal jangan suruh kami merubah bentuk bangunan. Silahkan ikut membangun sejauh tidak memberi syarat kami menggadaikan gedung ini untuk kepentingan kalian.

Negeri kami memang belum sempurna. Masih banyak kekurangan berserak di sana sini. Meski demikian, pantang buat kami merendahkan diri mengemis hutangan. Kami tidak alergi bantuan tapi jangan coba merubah ideologi bangsa ini. Pancasila filosofi suci nenek moyang kami. Silahkan tawarkan pinjaman tapi jangan coba beri kami syarat harus menggadaikan sejengkalpun tanah warisan para pejuang. Monggo saja bekerjasama asal tidak dalam relasi bos dan jongos, tuan dan budak belian. Kita berdiri setara antar bangsa berharga diri dalam bingkai ta'awanu yang berkeadilan dan saling membutuhkan.

Entah kapan gedung kami ini selesai. Tapi kami yakin itu sebentar lagi. Dengan ijin dan pertolongan Allah, kami akan terus berjuang dengan keringat kami sendiri. Pertolongan Allah itu dekat. Entah kapan negeri ini akan makmur dan berdikari. Tapi kami yakin itu akan terjadi. Tekad kita untuk hidup maju, beriman, berswadaya dan ber dignity. Mencapai itu mungkin kami akan berdarah dan tertatih. Kami siap asal rakyat berdaulat dan berkeadilan sosial.

Insya Allah, saat gedung ini jadi, akan lahir dari dalamnya, generasi merdeka pelanjut visi para pejuang. Yang cerdas, berilmu dan berkepribadian luhur bangsa dan beriman kepada Allah Yang Maha Kuasa. Insya Allah, saat bangunan negeri ini sudah merdeka hakiki, akan lahir dari perut bumi ibu pertiwi, pemimpin sejati yang diridloi Ilahi. Yang shidiq (benar) amanah (terpercaya) tabligh (penyampai dan pelaksana amanah rakyat) dan fathonah (cerdas).

Ada tujuh belas tiang di gedung ini. Menyahuti seruan tafakur dan dzikir 17 17 2017 ini, kami tancapkan tujuh belas merah putih di atasnya. Menandai awal kemerdekaan sejati. Meninggalkan kemerdekaan semu ragu dan penuh tipu, menuju kemerdekaan yang tuntas. Berkibarlah tujuh belas benderaku. Jadikan kerasnya angin sebagai penambah anggun pelambai merah putihmu. Jayalah negeriku. Jadikan kerasnya serangan topan berbagai persoalan kebangsaan sebagai ujian kekuatan pondasi kemajuan.

Gedung ini nantinya bertingkat dan mungkin tampak megah. Tapi siswanya tetaplah campuran antara anak keluarga mampu dan kalangan ekonomi lemah. Negeri ini nantinya akan hebat dan mungkin beranjak maju sejahtera. Tapi takkan kami biarkan hanya dinikmati oleh segelintir komprador wakil penjajah. Seluruh anak ibu pertiwi dari Sabang sampai Merauke berhak atas kemakmuran dan sumber daya negeri. Merekalah pemilik sah tanah air Indonesia. MERDEKA!
Bismillah.

Tuesday, June 27, 2017

Air Mata Tuhan, Teguran Lebaran


Lama tak lebaran di kampung halaman, tahun ini bersyukur bisa mudik ke Lamongan Jatim. Sampai rumah ingin ajak anak anak menikmati pagi menyusuri pematang sawah. Menyapa hijau padi, bercengkerama dengan bumi. Baru saja hendak berangkat, langkah seperti ada yang menahan saat melewati klinik pesantren kami.

Menjenguk masuk. Ternyata ada satu pasien yang kondisinya sudah sangat payah. Rumah sakit telah angkat tangan. Selain staf klinik, tampak dia ditunggui dua anak kecil, satu kelas 2 SMP satunya lagi kelas 3 SD. "Gimana keadaannya pak?", saya sentuh kakinya. "Sulit bernafas dan badan sakit semua..", terengah jawaban bibirnya bergetar di antara selang oksigen dan infusnya.

Darmono namanya, umur 62 tahun, bekas pegawai kontrak PTP di Jember. Klien di panti werdha kami. Seminggu sebelumnya ada yang antar ke tempat kami karena sudah beberapa bulan terlantar bersama dua anaknya, Krisna dan Wisnu. Kerabatnya berjauhan. Istrinya meninggal beberapa tahun yang lalu. Tidak memiliki rumah. Tinggal di rumah kosong di pinggir perkebunan bersama 2 anak kecilnya.

Malam sebelumnya, staf kami yang di Denpasar kirim foto 2 anak kecil. Vanesa, 6 tahun dan Rasya, 3 tahun. "Siapa mereka?". "Siap gus. Mereka diserahkan bapaknya. Seorang pria asal Papua. Bercerai dengan istrinya. Hidup nomaden karena sulit mendapat kerjaan. Berharap agar SPMAA BALI bisa merawat dan mengasuh mereka". "Apakah anaknya mau dan tampak nyaman?". "Langsung akrab dan tampak ceria bersama anak asuh kita yang lain kok gus". "Kalian sendiri siap menerima amanah?". "Insya Allah gus. Bismillah".

Pagi ini, saya saliman ke ibu karena hendak ke Surabaya. Mau belanja kebutuhan penghuni asrama yang tidak mudik. Edisi tebar kegembiraan lebaran ceritanya. Saya suruh adik untuk menanyakan satu persatu apa yang mereka ingin beli. Termasuk dua anak dari pasien klinik tadi, Krisna dan Wisnu. Ternyata ibu saya, bunda Masyrifah, juga sedang menyuruh adik saya yang lain untuk menyiapkan makanan pagi bagi pak Darmono.

Adik saya datang dengan sepiring nasi, lauk ikan dan sebuah pisang. Saya tegur, "Dik.. dulu Abi kita ngajari kita mencintai diri lain seperti mencintai diri sendiri. Coba bayangkan kalau nanti di akhirat kita ditanya Allah 'hai fulan apa kamu minta makan' 'iya gusti' 'lha kamu dulu sewaktu di dunia Aku sakit saja kamu kasih makan seadanya maka sekarang makan nih seadanya'. Dik.. orang sakit yang bukan siapa siapa kita itulah wakil Tuhan di bumi. Apa yang kita berikan itulah yang kita terima di akhirat". Adik saya diam. Digantinya dengan lauk lebih lengkap dan lebih lezat. Lalu diantarkannya.

Baru beberapa menit setelah makanan di antar, staf klinik datang tergopoh. "Gus.. pak Darmono meninggal!". Innalillahi wa inna ilaihi roojiuun. Anaknya tampak terisak di sampingnya. Hati saya teriris. Sesak saya bertanya, "Tadi gimana meninggalnya?". Sesenggukan Krisna jawab, "Tadi bapak panggil kami mendekat. Lalu peluk kami erat dan bilang sudah ga kuat. Lalu pelukannya melemah dan ga ada lagi..". Saya tak mampu lagi melanjutkan pertanyaan. Saya ajak anak dan istri mendekat lalu minta maaf karena takut nanti di hadapan Allah tercatat kurang perhatian.

Jenasah kami makamkan hari itu juga. Gerimis turun. Krisna dan adiknya duduk di depan nisan. Tangan tangan kecil yang lemah itu membelai makam ayahnya. Pusara itu basah. Oleh rintik hujan dan oleh air mata dua yatim piyatu itu. Di kejauhan sayup suara tadarus masih mengalun. Lebaran tinggal beberapa hari. Tapi dua anak ini harus kehilangan ayahnya. Saat banyak orang menyambut kegembiraan, dua anak ini harus sendirian menerima nestapa. Ibu tempat mengadu sudah berpulang dahulu, ayah tempat bermanja kini telah tiada.

Dulur.. saya sampaikan hal ini untuk pelajaran saya dan sampean semua. Bahwa kita perlu meningkatkan rasa simpati dan empati. Hiduplah sambil melihat kehidupan orang lain. Utamanya yang secara duniawi di bawah kita. Masih banyak anak negeri yang kesusahan. Masih banyak nikmat Ilahi yang kita terima dengan keluh kesah. Padahal masih banyak "Darmono" lain. Masih banyak kisah pilu Krisna, Wisnu, Vanesa dan Rasya lainnya yang membutuhkan irisan hati kita.

Insya Allah, Krisna dan Wisnu akan kami rawat di SPMAA Lamongan. Sementara Vanesa dan Rasya akan kami asuh dan sekolahkan di SPMAA Bali. Tapi kami tidak bisa sendiri. Ibu pertiwi membutuhkan lebih banyak lagi savior. Bukan sekedar orator, tapi the true mentor. Butuh lebih banyak lagi pelayan kehidupan. Kita perlu membangun persaudaraan. Perlu menambah kuantitas dan kualitas saudara. Darmono ternyata punya banyak saudara kandung. Sayangnya, ikatan darah tidak menjamin adanya simpati dan empati.

SPMAA didirikan Pak Guru Muchtar untuk wadah penyuburan bibit saudara sejati meski bukan famili. Agar lebih banyak lagi simpul persaudaraan sejati di muka bumi yang semata dilandasi cinta suci, cinta sesama insani, wakil Ilahi di bumi ini.
Bagaimana dengan sampean, dulur ? Mau jadi saudara sejati saya ?
Salam seduluran temenan. Bismillah

Thursday, October 13, 2016

SPMAA Laksanakan WORKSOP TK, PAUD dan TPQ Nasional di Bali


Yayasan Sumber Pendidikan Mental Agama Allah (SPMAA) Pusat Lamongan, Jawa Timur, menggelar Workshop Nasional Taman Kanak-kanan (TK),  Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Taman Pendidikan Al Quran (TPQ) Cabang SPMAA Se-Indonesia, di Bali, selama lima hari mulai 12 - 17 Oktober 2016.

Pembina Yayasan SPMAA Pusat Hj. Masyrifah Muchtar saat membuka workshop mengata-kan, Usia 2-6 tahun adalah usia terbaik pendidikan. Disebut juga golden age. Di usia ini, pilihan pilihan pandangan hidup dan prilaku ditentukan. Karakter dibentuk. Hitam putihnya akhlak digambar.

"Mendidik anak adalah pondasi dasar dalam mengembangkan pribadi anak," katanya saat membuka Workshop di Gedung GOR Dewara, Sanggulan, Tabanan, Bali, Rabu (12/10/2016)

Terkait hal itu, Masyrifah menambahkan, SPMAA sebagai lembaga pengembangan masyarakat, yang sudah berpengalaman lebih dari 50 tahun di bidang pendidikan, melihat bahwa penanaman ajaran hidup sangat penting diperhatikan di usia emas ini.

Pada kesempatan tersebut Masrifah juga mengingatkan kepada para pendidik TK, PAUD dan MTQ Cabang SPMAA Seluruh Indonesia agar bisa memberikan pendidikan dan pembelajaran kepada anak didiknya dengan nilai-nilai Islami seperti yang pernah diajarkan dan dicontohkan pendiri SPMAA, Bapak Guru Muhammad Abdullah Muchtar.

Sebelumnya, Ketua Yayasan SPMAA Cabang Bali Gus Glory Islamic selaku Ketua Penyelenggara Workshop melaporkan, ada lebih dari 70 cabang SPMAA di seluruh Indonesia yg memiliki pendidikan anak usia dini. 


"Terkait hal itu dirasa perlu untuk menyatukan pandangan tentang apa dan bagaimana praktek terbaik TK, PAUD diimlementasikan," katanya.

Gus Glory juga melaporkan, Workshop dilaksanakan di dua lokasi di Tabanan selama dua hari dan di Denpasar selama tiga hari." Workshop diikuti 120 orang peserta yang berasal dari Cabang SPMAA seluruh Indonesia," paparnya.

Menurut Gus Glory tujuan dilaksanakan workshop ini adalah  menyusun muatan lokal untuk isian kurikulum yg merujuk pada kurikulum Pendidiakan Nasional. Selain itu juga untuk menentukan standar TPP, isi proses, evaluasi dan penilaiain untuk TK, PAUD dan TPQ di lingkungan SPMAA.

"Tujuan yang tak kalah pentingnya adalah untuk menentukan standar guru yang berkualifikasi, mencetak anak didik yang cerdas, terampil dan berakhlak selamat dunia akhirat," ujarnya.

Sementara out put dilaksanakannya workshop ini adalah adanya keseragaman visi dan misi tentang pendidikan anak usia dini di lingkungan SPMAA dan adanya kurikulum yang bernuannsa akhlak mulia, berwawasan bhineka tunggal ika serta berprestasi dunia akhirat. (Gus Glory)

Sumber: http://www.kabarnusa.com/2016/10/spmaa-gelar-workshop-tk-paud-dan-tpq.html?m=1

Tuesday, January 12, 2016

Ibu Pertiwi Aku Berdiri


Ibu, ijinkan aku | menyudahi diam ini | berilah aku titah | sekelebatan berdiri meneguhkan kaki | bersiap menjemput sekejap harap di tengah asa yang kian langka.

Sebab Ibu, lihatlah itu | mereka anak-anakmu menghela nestapa di tegalan sawah, di perairan tanah dan ketinggian lembah | mereka kelaparan perhatian dan kehausan penghidupan..

Lalu aku hanya mampu menyepi seperti yang ibu selalu kehendaki | tidakkah ibu iba kepada wajah sendu mereka ? Kalau tidak sekarang kita bergerak datang, mereka mati berkalang bumi..

Ibu, restui aku | Ijin kubawa angin | untuk mengibarkan myelin kebangkitan | serentak kutiup hak hidup pada pusara mereka, anak-anak pribumi yang terusir pergi dari rahim pertiwi |

Do'akan aku Ibu | pada setiap derap ayunan langkah kaki ini nanti | ada restu ampunan ilahi yang selalu berkelimpahan mendampingi..

INDONESIA


Aku kan berdiri menegakkan dwi warna sang panji | tidak lagi duduk menanti merutuk disini | ijinkan aku turun bersama embun dan halimun |

Ibu pertiwi, aku mesti berdiri | Merah Putih ini harus kembali membumi | mengangkasa semua jengkal persada tanah air kita | tak bisa dan tak rela jika ia diganti kepala naga, bintang kejora, dua segitiga atau rupa bendera manca lainnya...

~ suara paskibra ~
#GA9

Friday, October 16, 2015

KEPALSUAN CINTA |part 2

Kepalsuan Cinta | Gus Glory | Penulis
“Gus, seberapa besar sih cinta sampean kepada keluarga?”, pertanyaan kawan itu membuyarkan keasikan saya menikmati bulan purnama. “Ya besar dong, pokoknya ga bisa diukur”, jawabku sekenanya. “Kalau kepada Allah cinta nggak?”, usiknya lagi. Sayapun menjawab singkat: “Pasti”. Belum puas diapun melanjutkan: “Besar mana dengan cinta pada keluarga

Spontan saya ingin jawab besar kepada Allah, tapi nafas saya seolah tercekat. Karena saya rasa itu dusta. Lalu timbul jawaban lain, ya seimbang lah, tapi itupun tertahan, karena bahkan seimbangpun sepertinya belum.

Akhirnya jawaban yang muncul adalah penjelasan-penjelasan saya yang nggak jelas. Kumpulan logika, justifikasi dan penafsiran dangkal dari dalil-dalil, semuanya hanyalah upaya kamuflase saya menutupi kekurangan diri. Sebuah kesimpulan pahit justru saya peroleh dari jawaban jujur saya atas pertanyaan tersebut, setelah kawan itu pulang. Sederet kriteria kitab suci yang saya pakai untuk melakukan fit and proper test atas rasa cinta saya pada Allah. Jawaban jujur itu ternyata saya belum mencintaiNya.

Kira-kira apa yang sampean rasakan saat nama seseorang yang sedang sampean gandrung dan cinta disebut, berdesir ya? Jika saat namanya disebut seperti darah mengalir lebih laju, kala bertemu dengannya degup jantung berpacu tak menentu, waktu lama tak bersua ada perasaan rindu, berarti ada rasa cinta yang sedang bertamu. Kiriman sms dan panggilan telepon adalah hal yang sangat ditunggu dan pertemuan dengan kekasih adalah penyejuk kalbu.

Serindu itukah kita pada Allah? Kala mendengar adzan, apa yang muncul dalam benak kita; trengginas menyahuti ingin segera bertemu yang dirindu atau ogah-ogahan karena terganggu? Di luar bulan puasa saat sedang sibuk atau sedang asik bercengkerama, suara mana yang timbul: “kok belum adzan sih?”, sebuah ungkapan perasaan yang senantiasa menunggu-nunggu datangnya waktu sholat, atau karena waktu sholat dirasakan sebagai pemutus kesenangan atau jeda di waktu yang tak tepat, sehingga yang muncul “kok sudah adzan sih?”

Jika cinta sesama anak Adam dilukiskan dengan adanya getaran saat nama kekasih disebut, maka bergetarkah hati kita saat menyebut atau disebut nama Allah? “Orang-orang yang beriman, ialah mereka, yang apabila disebut Allah, tergetar hatinya dan bila ayat-ayatNya dibacakan kepada mereka, bertambah kuat keimanannya, dan hanya kepada Tuhan mereka tawakkal” qs. 8:2. Coba jujur pada diri sendiri, itukah yang sampean rasa saat nama Allah disebut, bergetarkah? Katanya cinta?

Percintaan sering digambarkan dengan pelayanan dan kesediaan mengalahkan keinginan dan kepentingan pribadi demi mendapatkan hati yang dicintai. Apapun dilakukan atas nama cinta. Bahkan jika tengah malam ada panggilan dari sang pujaan hati, banyak yang tetap berjuang untuk datang. Kencan tengah malam, siapa yang bisa menolaknya? Itulah cinta, kadang sulit dicerna. Lalu bagaimana jika yang memanggil dan meminta sampean untuk datang dan berkencan tengah malam itu adalah Tuhan kita, Sang Robb, Allah Subhanahuwata’ala?

“Dan waktu malam, salat tahajudlah sebagai (ibadah) tambahan bagimu; semoga Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji dan terhormat”. 17:79. Bayangkan kita tengah tidur lelap, hujan deras, hawa dingin menusuk tulang, relakah kita memutus tidur, menyibakkan selimut, melawan dinginnya malam bersentuhan air hanya untuk menemui Allah? Tertarikkah kita dengan janji balasan cinta dari-Nya dan pengangkatan derajat yang secara dhohir tidak bisa diukur dan dirasakan?

Pernahkah sampean selingkuh? Semoga tidak. Tapi pernahkah sampean memikirkan hal atau orang lain saat sedang berduaan dengan kekasih atau pasangan? Jika pernah, konon kata orang itu juga tanda-tanda selingkuh hati. Pun demikian halnya ketika kita berduaan dengan Allah dalam sholat. Bisakah kita saat sholat hanya fokus (khusyu) memikirkan dan berdialog dengan-Nya tanpa ingat dan memikirkan yang lain? Karena memang demikianlah semestinya sholat.

Tapi pernahkah kita saat sholat yang harusnya hanya intim dengan Allah, tapi pikiran kita melayang: “waduh, besok deadline kerjaan”, “komporku tadi udah ta matiin belum ya”, “besok presentasi produk?”, “kampanye di dapil sana harus sukses”, dan hal dunia lainnya, pernah? Atau malah sering. Jika itu yang terjadi berarti kita telah selingkuh. Itulah kenapa Allahpun tidak sudi menoleh pada kita. Ujungnya sholat kita tidak pernah memberi dampak pada perilaku sosial kita. Karena sholat yang tidak pernah sampai kepada-Nya. Di mana semestinya sholat bisa memberi perbedaan prilaku sesudah sholat lebih baik dibanding sebelum sholat.

Lagi, Nabi bersabda: Man la yarhamunnas, la yarhamuhullohu, barangsiapa yang tidak mencintai sesama manusia, maka Allahpun tidak mencintainya. Tiap rasa cinta tentu besar harapan berbalas. Demikian juga kalau kita mengaku cinta Allah, mengharap balasan dengan cintaNya. Padahal cinta Allah kepada kita sangat bergantung pada seberapa tulus dan terbuktinya cinta kepada sesama. Mampukah sampean membuktikan cinta dengan menyayangi sesama seperti menyayangi diri sendiri?

Bila sampean sedang berdekatan dengan penjual minyak wangi, tercium bau wangi bahkan tak jarang diolesi minyak wangi. Kalau memang benar-benar kita dekat kepada Allah seperti yang kita gembar-gemborkan, maka pasti kita jiwa kita akan penuh kasih akibat “tertular dan terolesi” sifat Allah Yang Ar Rahman dan Ar Rahim, Pengasih Penyayang. Dan bohong besar mengaku dekat dan cinta kepada Allah tapi jauh dari sifat kasih. Duduk nyaman dalam mobil mewah, cuek melewati sesamanya yang kelaparan.

Cinta Nabi Muhammad pada Allah dibuktikan dengan pengorbanan harta, waktu, pikiran bahkan taruhan nyawa. Sampai saking gandrung dan kedanen Allah, puja-puji pada sang kekasih tertuang dalam 99 nama asmaul husna. Itulah adalah ungkapan cinta sang Nabi menggambarkan sang kekasih. Demikian pula para sahabatnya. Sahabt Bilal memilih cinta Tauhid meski disiksa, Abu Bakar mengorbankan status sosial dan hartanya, Umar, Ali, Usman yang tak terhitung pengorbanannya semua demi cinta.

Gimana sekarang, masih mau dan sanggup mencintai Allah? Masih keukeuh merasa punya rasa cinta pada Allah? Baiklah, coba baca ayat berikut:

Katakanlah: “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, pasangan-pasanganmu atau kerabatmu; kekayaan yang kamu peroleh, peniagaan yang kamu khawatirkan akan mengalami kerugian dan tempat tinggal yang kamu sukai – lebih kamu cintai daripada Allah, atau RasulNya atau berjihad di jalanNya; maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan (siksa)Nya. Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang fasik”, qs. 9:24.

Membaca ayat ini, sayapun diam tertunduk lesu, lidahpun kelu. Bak pedang tajam, ayat ini menusuk telak tepat di jantungku. Tidak ada lagi alasan-alasan yang bisa saya buat-buat. Mau bilang apa, lha wong memang saya kerap masih lebih mencintai hal-hal tersebut daripada Allah. Ingatan dan kenyamanan saya lebih banyak pada hal-hal yang diprediksi dalam ayat tersebut daripada Allah. Jawabannya sudah jelas: ternyata cintaku palsu! Bagaimana dengan sampean? Wallahu a’lam. Bismillah.

Penulis: Gus Glory

Sunday, October 4, 2015

Meski usia sudah tua, semanggat tetap 45

Tulang raga renta dimakan usia
Tapi semangat bela negara 
tetap muda seterusnya

Warna kulit muka mungkin menua
dan mengeriput dibawa usia senja

Namun Merah Putih Dwi Warna
harus menyala muda semangatnya
tidak boleh pudar menua

Bendera Sang Saka 
harus kuat rajutan makna satunya
tidak bisa terberai dua hanya karena ditempa masa 

Warna INDONESIA era Merdeka 1945 
bergerak dinahkodai para pemuda

Merah Putih INDONESIA
sudah semestinya kita jaga 
nyala semangat warna 
dan satu tekad maknanya

Pemuda itu semoga kita
yang tak pernah mudah menyerah
yang tak merasa cepat tua
yang tak kehilangan aura dwiwarna
yang tak lupa bersyukur INDONESIA

Pemuda itu semoga saya dan Anda
yang berani menjahit mimpi Ibu pertiwi
yang bekerja bersih tanpa pamrih
yang melayani bangsa tanpa mahkota
yang terus bersemangat muda selamanya

* Foto repro seijin HAKI mas Palih Setiad

Wednesday, August 19, 2015

karena (bukan) karena

Karena Bukan Karena | Penulis Gus Adhim | SPMAA


"Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan...."

Maka dwiwarna melambai Indonesia | oleh karena itu aku mau membawa sang saka berkelana | sebab demikian Merah Putih siap diriwayatkan....

"Adakah Merah Putih di dadamu?? Ada...ada..ada !!" Adakah Pancasila di hatimu? "Ada..ada..ada!" Mana dia? "Ini dia..ini dia..ini dia.!"

Karena Pangeran Diponegoro mengilhami jalan jihad ini | meski harus bertarung sendiri dan berdharma ikhlas bersih, tiada bekas pamrih.

Karena Panglima Sudirman menyatakan teladan, " Robek-robeklah badanku, potong-potonglah jasad ini, tetapi jiwaku dilindungi benteng merah putih, akan tetap hidup, tetap menuntut bela, siapapun lawan yang aku hadapi."

Bukan karena hendak berpunya tanda jasa bintang maha putra | bukan juga karena mimpi dibawa wisata ke istana | bukan karena ingin diimingi janji singgasana oleh raja mancanegara...

Karena Merah Putih itu jiwa raga bersenyawa | maka ia senantiasa hidup melegenda selama ada nusantara |

karena panji sakti ini bukan cuma jahitan perca dua segitiga | karena sang saka bukan hanya kain berenda bintang kejora | karena Merah Putih bukan besi bisu atau alat sambit seperti palu dan arit...

Karena Merah Putih, adalah cita-cita bangsa bermarwah bersih.. maka aku membawanya sepanjang ruas raya, mengiringi Indonesia bercerita, mensyukuri karunia surga kecilNYA..
 

Pengikut