Ads 468x60px

Thursday, May 1, 2014

HAJI DAN ELEGI PARA TKI

SEBUAH RENUNGAN
Gus Glory


Tampak seorang perempuan tua berjalan tertatih menuju teller sebuah bank syariah. Dari caranya berinteraksi dengan teller, terlihat si nenek belum pernah berhubungan dengan bank sebelumnya. Dikeluarkannya sebuah bungkusan plastik berwarna hitam. Sambil menuangkan isi keresek yang penuh berisi uang receh dan beberapa lembar ribuan, bibir si nenek gemetaran menyampaikan niat membuka rekening. Ya, si nenek sedang mulai menabung ONH untuk berangkat haji. Total uang receh tersebut sebesar 5 juta rupiah. Si teller dengan senyum sabar melayani.



Dengan buku tabungan ONH di tangan, si nenek berjalan pulang dengan gembira. Wajahnya bersinar penuh harapan cita-citanya akan segera terwujud. Doa yang dibarengi usaha banting tulang sebagai pembantu itu akan segera terkabul. Bayangan ka’bah seperti lukisan dinding yang dibuat anaknya secara slow motion bergantian muncul dalam pikirannya. Sebuah tabungan, sebuah langkah awal hasil dari kerja bertahun-tahun sebagai pembantu rumah tangga di rumah Wak Haji kaya. Si nenek tinggal di rumah reot bersama anak laki-lakinya, seorang pelukis. Anaknya baru saja cerai karena istrinya memilih hidup dan menikah dengan laki-laki lain.  Sang anak yang berubah sayang pada ibunya dan sangat ingin mewujudkan mimpi ibunya, naik haji.

Selang beberapa waktu setelah hari penuh harapan itu, seorang wanita datang bertamu ke rumahnya. Mata nenek menatap redup wanita yang datang tersebut. Sambil menangis sesenggukan wanita itu bercerita bahwa anaknya divonis mengidap penyakit kronis yang harus segera dioperasi. Kesedihan semakin bertambah karena dia tidak mampu membiayai operasi yang sebesar 5 juta. Sambil mengelus lembut pundak wanita itu, si nenek berujar: “Sudahlah jangan sedih, insya Allah nenek bantu. Akan nenek ambil tabungan nenek”.

Mendengar itu anak laki-lakinya yang berada dalam kamar sontak datang, “Tidak! Aku tidak rela. Itu tabungan emak selama bertahun-tahun untuk tujuan suci, haji”. “Nak, menolong mereka yang membutuhkan lebih utama. Mimpi nenek untuk berangkat haji bisa ditunda. Kalaupun nenek meninggal sebelum bisa ke sana, percayalah hati nenek sudah lama ada di sana”, ucap si nenek sambil memakai pedang ikhlas untuk memenangkan perang batin yang bergelora dalam batinnya. Sang anakpun hanya bisa menunduk lesu, perlahan air mata mengalir dari kelopak matanya.

Hari berganti hari, si nenekpun mulai menabung kembali. Disusunnya puzle harapan bersujud di depan ka’bah yang sempat buyar karena menolong orang yang sakit. Pagi itu, si nenek sedang menjemur pakaian ketika dilihatnya dua orang anak yatim yang tinggal di sebelah rumahnya sedang memakan daging. Si nenek heran karena dengan kondisi ekonomi ayah mereka yang sangat kurang, jangankan makan daging, untuk makan sehari-hari saja sering meminta-minta. “Daging dari mana nduk?” tanya nenek. Si anak diam. Wah, jangan-jangan. “Itu daging bangkai ayam yang nenek kubur kemarin?” tanya nenek khawatir. Si anak hanya bisa mengangguk.

Segera si nenek menyuruh membuang dan menuntun mereka ke rumahnya. Perang batin berkecamuk hebat, ketika nenek menyingkap kasur di mana dia menaruh receh dan lembar uang yang hanya berjumlah beberapa puluh ribu, yang disimpannya untuk naik haji. Dia membeli ayam dengan uang tersebut dan memasakannya untuk anak tetangganya. “Makanlah nak..”. Sejurus kemudian uang di bawah kasur yang tersisa 50 ribu pun diberikan pada anak yatim, sambil berpesan “ini pakai untuk kebutuhan keluarga kalian..” Subhanallah.

Kejadian tersebut saya sarikan dari beberapa scene dalam film EMAK INGIN NAIK HAJI yang dimainkan secara luar biasa bagus oleh Aty Kanser (si nenek) dan Reza Rahardian (pelukis). Sebuah ilustrasi yang menggambarkan betapa seorang nenek sederhana, lebih mampu mengartikulasikan apa yang dikehendaki oleh Allah daripada kita yang pandai ber-retorika. Saya tidak melihatnya hanya sebagai sebuah film, karena kejadian yang nyaris persis saya temukan di lingkungan kami. Bahwa masih ada hamba-hamba terpilih Allah yang mampu mengejawantahkan makna sesungguhnya dari haji. Mereka yang begitu tajam penglihatan batinnya dan menggunakannya sebagai pisau analisis untuk menentukan skala prioritas dalam pengabdian kepada Allah.

Dalam sebuah kisah diceritakan ada seorang yang begitu bernafsu masuk surga. Lalu di tengah jalan menuju surga ditanya Tuhan: “Apa modalmu masuk surga?”. Dia menjawab: “Hamba ketika hidup di dunia rajin sholat, puasa tidak pernah bolong, zakat dan haji kutunaikan”. “Itukah modalmu masuk surga?”, tanya Tuhan lagi. “Bukankah itu sudah cukup, ya Tuhan?”, jawab orang tersebut dengan yakin dan sombong. Tuhanpun murka dan menghardiknya: “Ya, kamu sholat tapi ketika AKU sakit dan sekarat menengokpun kau tak sempat. Kamu haji, tapi ketika AKU kelaparan kau tidak bersimpati. Kamu pandai mengaji tapi ketika AKU tinggal di bantaran kali, kau tidak peduli”. Orang itupun dilarang masuk surga. Dalam hal ini Tuhan memakai kata “AKU” untuk mewakili kaum papa di dunia.  

Muchtar Sadili pernah menulis bahwa dalam ilmu fikih dikenal istilah penarikan hikmah dari satu ibadah (hikmah at-Tasyri’), sama pentingnya dengan pelaksanaan ibadah itu sendiri. Haji Mabrur yang diinformasikan oleh syari’at`, secara bahasa dan istilah mempunyai relasi kuat dengan kepedulian sosial. Kata mabrur yang berasal dari kata bir dalam bahasa arab diartikan sebagai kebaikan. Nah, dalam al-Qur’an makna itu dilebarkan bahwa kebaikan hanya diperoleh jika menafkahkan harta yang kita cintai untuk meringankan beban hidup orang lain di sekitar kita (QS ‘Ali Imran:9).

Begitu juga jika ditilik ibadah lainnya dalam rukun Islam setelah syahadat sebagai pengakuan akan Tuhan dan Nabi, seperti shalat, puasa dan zakat. Pelaksanaan shalat akan dianggap sebagai pendustaan agama, jika pelakunya tidak peduli terhadap penderitaan anak yatim dan para fakir-miskin (al-Ma’un:1-5). .Puasa sengaja didisain untuk melatih diri dengan biasa merasakan lapar-dahaga di siang hari, agar merasakan derita kaum papa (hadits bukhari-muslim). Secara tegas, kita temukan dalam zakat, yakni dengan mengeluarkan sebagian dari harta yang telah mencapai jumlah tertentu (nishab), untuk kaum dhu’afa (Qs at-Taubah 9:60).

Spirit komunalitas Haji setidaknya menyimpulkan kekaguman, sekaligus kekagetan. Di tengah negeri yang masih terlilit krisis ekonomi, jumlah kuota haji tidak mengalami perubahan yang signifikan, bahkan tahun ini grafiknya cenderung naik – terlepas dari adanya waiting list. Anehnya, problem kemiskinan tidak berbanding lurus dengan spirit komunalitas tadi. Sejatinya, secara organik dan fungsional ibadah haji memerankan dirinya dalam usaha untuk menuntaskan problem kemiskinan bangsa.

Sementara C. Ramli Bihar Anwar dalam tulisannya menyebutkan bahwa dalam iIbadah haji mengenal apa yang disebut halangan atau uzur sosial, yakni peristiwa atau masalah-masalah sosial (kemanusiaan) yang bisa menggugurkan kewajiban haji seseorang, meski mungkin hanya bersifat sementara. Kewajiban haji yang bias dikalahkan oleh kemungkinan uzur-uzur sosial bukan saja ditekankan oleh penghayatan sufistik tetapi juga oleh tradisi fiqih. Penekanan secara tasawuf sangat memungkinkan, karena tasawuf dikenal sebagai disiplin batin yang lebih bersifat humanis dan relatif “longgar” secara legal-formal. Tapi, bila hal ini diterima secara fiqih – yang dalam banyak kasus sering terlalu “rigid, dogmatis dan kering“ – maka jelas ini mendakan adanya pancaran sifat humanis yang tak terbendung dari ibadah haji. Dr. Yusuf Qardhawi, dalam bukunya Fiqh Aulawiyyat, Fiqih Prioritas, “ kewajiban yang pelaksanaannya harus sesegera mungkin (genting) harus didahulukan di atas kewajiban yang harus ditunda. Dan, haji adalah kewajiban yang bisa ditunda“.

Sementara bila uzurnya tak sampai mengancam jiwa, misalkan kemiskinan, kebodohan dan masalah-masalah sosial lainnya, maka menaggulangi semua ini harus didahulukan ketimbang melakukan haji sunnah / umrah. Artinya, dalam kondisi serba krisis, ongkos untuk berhaji sunnah (yang kedua dan seterusnya) jauh lebih baik disalurkan untuk berbagai kegiatan pemberdayaan sosial. Dalilnya, melayani urusan publik adalah fardlu kifayah (kewajiban sosial), sedangkan melakukan ibadah haji/umrah yang kedua dan seterusnya hanyalah sunnah.

Jika demikian pandangan fiqih, maka tak heran bila Abu Hayyan Al-Tauhid (w. 1025 M), seorang ahli sufi, filasafat dan sastra sampai merasa perlu mengarang sebuah kitab berjudul Al-Hajj Al-Aqli idza Daq Al-Fada ‘An Al-Hajj Al-Sary’I ( Haji Spiritual bila Tak Mungkin Melakukan Haji Formal? ); untuk mempromosikan apa yang disebutnya sebagai haji spiritual sebagai ganti haji fisikal jika cukup terdapat uzur-uzur sosial. Tak heran pula bila Al-Ghazali samapi berani menyebut para hartawan yang berkali-kali berangkat haji sementara membiarkan tetangganya kelaparan sebagai “orang-orang yang terkelabui”.

Maka, adalah ironis bila kaum Muslim tanah air – terutama yang telah berhaji berkali-kali – terus begitu antusias berhaji sampe harus antri menunggu kuota bahkan harus sampai “adu demontrasi” umtuk memperebutkan kuota, sementara dibelakang mereka antrian kebodohan dan kemiskinan bahkan sampai harus “adu nyawa” saat memperebutkan prosesi pembagian sedekah maut semakin bertambah panjang. Tambahan biaya haji pun tak risau untuk kembali dikeluarkan meski sebatas untuk keperluan biaya jual beli kuota kepada oknum Depag di daerah-daerah.

Itulah kenapa dalam status sebuah jejaring sosial saya menulis: “Wahai saudara-saudara Muslim, bagaimana kalau sampean semua yang berencanan haji ke Arab ditunda dulu. Kemudian uang saudara2 dikumpulkan untuk pemberdayaan para TKI/TKW. Kalau tiap tahun ada sekitar 200 ribu orang yang berhaji dengan biaya sekitar @ 30 juta. Berarti ada dana sekitar 6 trilyun per tahun. Dan umat Muslim secara ikhlas me-moratorium haji selama 5 tahun ke depan”. Sentilan ini adalah bentuk keprihatinan saya menyaksi-rasakan berita dan penderitaan jutaan saudara yang menjadi TKI/TKW di jazirah Arab, jazirah di mana Arab Saudi negara tempat ibadah haji dilaksanakan.  

Si Emak dalam film di atas mirip dengan cerita sufi tentang tukang sol sepatu, yang lebih mendahulukan substansi daripada seremoni. Berpikir cerdas untuk meredam ibadah yang bisa ditunda dengan memenuhi kewajiban ibadah perlu segera. Dengan tanpa membuat dikotomi antar keduanya, si Emak berhasil secara ikhlas mengusahakan tertunaikannya ibadah ritual dengan memberikan ruh ibadah sosial. Usulan saya dalam status tersebut bukan usulan kepada pemerintah RI untuk dijadikan regulasi, namun kepada individu-individu untuk dijadikan renungan nurani dan rencana pribadi. Himbauan tersebut bukan dimaksudkan untuk membebankan tanggungjawab menolong sesama pada mereka yang akan berhaji saja, karena sesungguhnya tanggungjawab itu ada pada kita semua. Ingat, bahkan orang yang mengerjakan sholat dianggap pendusta agama dan diancam neraka, jika melalaikan kepedulian sosial memberi makan anak yatim dan menolong kaum miskin.

Saat si Emak merelakan tabungannya untuk menolong anak miskin membayar biaya operasi, bukan karena kurang besarnya keinginan menuju baitullah. Tapi lebih karena personifikasi “Emak” telah mencapai tingkatan iman yang memungkinkan dia melihat ibadah ritual dalam bingkai yang sesungguhnya, ibadah sosial. “Nak, menolong mereka yang membutuhkan lebih utama. Mimpi nenek untuk berangkat haji bisa ditunda. Kalaupun nenek meninggal sebelum bisa ke sana, percayalah hati nenek sudah lama ada di sana”, ujar Emak penuh makna. Ini sebuah renungan, bukan usulan yang memaksakan, apalagi ego untuk diadu. Kita kalah dengan si Emak. Kita seharusnya malu dengan tukang sol sepatu. Karena belum mampu, saya malu. Bagaimana dengan bapak-ibu? Suwun.

0 comments:

Post a Comment

 

Pengikut