Ads 468x60px

Friday, April 25, 2014

SANTRI SAKTI

Sebelum santri masuk tahapan penggodokan Taruna TPU-PGA (Tenaga Penyayang Umat-Pegawai Gaji Akhirat) di Yayasan SPMAA, para mentor senior akan memberikan ujian kenaikan status kesantrian. Setiap santri calon Taruna TPU-PGA harus mampu membuktikan komitmen pengorbanan untuk kaul pelayanan keumatan serta “jati diri filantropi” yang dimiliki selama ia belajar beragama di ma’had Yayasan SPMAA.
Diantara ujian kenaikannya, santri harus pernah mengikuti beragam puasa sunnah yang diteladani Nabi. Mulai puasa Senin-Kamis, puasa Dawud, puasa Rajab, puasa 3 hari dalam sebulan, puasa nisfu Sya’ban, dan puasa 6 hari Syawal. Selain itu harus sudah melaksanakan ikhtiar puasa  lainnya dan tirakat sehat sebagai bekal survival sosial saat tugas berangkat melayani umat.
Ujian kenaikan terberat adalah ketika santri diharuskan berpuasa selama 7 hari penuh. Di dalam proses berpuasa itu, kegiatan pembelajaran terus dilangsungkan secara padat jadwal, mulai dari jam 3 pagi hingga jam 11 malam.  Jeda sedikit hanya waktu sholat 5 fardlu, plus sholat dluha dan tahajjud. Pembelajaran maraton, ketat dan padat ini akan menguras energi fisik serta psikis santri.
Pada puasa hari ketujuh (hari terakhir), calon santri Taruna TPU diminta menuliskan menu makanan yang sangat mereka suka. Para mentor senior lalu menyediakan makanan pesanan tersebut. Saat jelang berbuka, menu yang masih dikemas tersembunyi itu dibaris di depan santri yang bersiap mengikuti prosesi upacara makan bersama.
Ketika adzan maghrib bergema, santri diperintahkan membuka kemasan makanannya. Sebelum makan terlebih dulu harus menemukan kertas pesan di dalamnya. Kemudian santri kudu baca pesan itu, dan harus segera melaksanakan isi perintahnya. Pesan di kertas ini berbunyi “TOLONG BERIKAN MAKANAN YANG PALING KAMU CINTAI INI, KEPADA ORANG YANG PALING KAMU BENCI”

Saat itulah santri-santri ini akan perang emosi dalam hatinya sendiri. Setelah diuji bersabar mengendali asupan makan, bertahan dalam aktifitas harian yang menguras mental dan kebugaran badan selama 7 hari penuh, kini menghadapi tes tidak biasa dalam hidupnya. 
Sebuah ujian menjadi “santri sakti” yang kudu berani memberikan makanan yang dicintainya kepada orang yang paling dibencinya di asrama. Peserta tes dipaksa menghadapi situasi perang antara dorongan memenuhi kebutuhan jasmani yang harus segera diasupi dan bergelut melawan bisikan kemarahan. 
Sebagai manusia basyar umumnya, dinamika hidup berdampingan di asrama, tentu macam-macam sifat yang dihadapi santri ini. Diantara komunikasi budaya mereka, pasti pernah bersinggungan rasa yang membuat tidak enak bicara dan hati kecewa.
Nah, potensi dendam hati antar santri ini yang harus dikikis habis. Walau proses pelaksanaannya bakal sangat menyakitkan perasaan, memunculkan ketidaknyamanan dan menghadapi keadaan serba kecanggungan.
Di tahapan ujian kesantrian inilah, para santri biasanya akan menangis karena harus memaksakan ketidaksiapan: perang melawan nafsu kebencian, membuang ego keakuan, melepaskan hirarki/senioritas kesantrian, dan mengalahkan setan kesombongan.
Para santri ini harus menihilkan rasa sebagai manusia biasa dan belajar meneladani figur Rasul/Nabi, di mana satu diantaranya adalah membalas kasih cinta kepada orang yang menyakiti hatinya.
Meski beberapa diantara mereka, awalnya menangis karena “terpaksa”, tangisan selanjutnya adalah karena kelegaan jiwa seiring turunnya rahmat taubat. Walau semula menyapa dengan kaku, rikuh dan malu, pada akhirnya mereka bisa kembali berkomunikasi secara cair, akrab dan terbuka.
Pelajaran yang didapat para santri adalah tentang betapa beratnya tuntutan menjadi figur santri yang sabar melayani sekaligus sosok penggembala umat yang harus kuat tirakat.
Inilah esensi sejatinya tirakat puasa menahan ego kemauan, bukan sekadar menahan haus dan lapar –seperti puasa fisik yang sudah jadi menu tradisi sehari-hari para santri. Itulah makna hakikat hadiah lebaran, dimana semua manusia saling bersalaman melepaskan ego perasaan dan mengalahkan nafsu kebencian yang dibisikkan musuh ghoib setan.
Pada tahap ini, santri baru belajar menapaki jalan menuju kawah penggodokan yang penuh ketidaknyamanan dan jauh dari kenikmatan profan. Kemenangan peperangan bagi para “santri sakti”, bukanlah “mengalahkan” sesama manusia, tapi “menyadarkan” ada musuh dalam hatinya. Musuh sejati adalah setan yang ghoib bersemayam di dalam hati dan pikiran semua manusia.
“Santri Sakti” adalah mereka manusia pembelajar agama yang mampu membukukan kemenangan melaui ujian memberikan sesuatu yang dicintai kepada orang yang paling dibenci. Melalui uji kesantrian ini, kita semua yang mengaku manusia beragama harus berani berbagi sepiring makanan persaudaraan, segelas airmata permaafan, dan selangit bumi kasih ridho ampunan Tuhan.
Pembaca, hakikat Isro’ Mi’roj yang kita peringati kemarin, adalah menaikkan derajat iman ke posisi yang lebih berkelas lagi. Maka, bila kemarin kita masih suka makan enak hanya bersama keluarga, cobalah sekarang membagi makanan yang kita cintai kepada orang yang paling kita benci.
Saya harap kita semua bernyali mengikuti tes “Santri Sakti” ini dan kemudian lulus dengan hasil bagus. Semoga kita telah dicatat mencoba menapaktilasi peringatan Isro’ Mi’roj sungguhan.
Sebagaimana kita baca dalam Sirah Nabawiyah, Rasulullaah Muhammad diperjalankan ke orbit mihrab langit, adalah sebagai “rekreasi ruhani” setelah beliau melewati ujian kepedihan yang sangat memprihatinkan.
Isro’ Mi’roj adalah kado kecil dari Allah SWT kepada Rasulullaah sebagai hadiah atas prestasi cintanya kepada manusia dan berani mengalahkan kepentingan pribadi beliau sendiri. Kita semua patut belajar menapaktilasinya, diantara ikhtiarnya  melalui uji nyali menjadi Santri Sakti.
110:1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.
110:2. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong,
110:3. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat.
76 : 8. Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.
76 : 9. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.

Monday, April 21, 2014

Dhiror (Edisi Ramadhan)

Saat ini tadarus tafsir edisi Ramadhan kami sedang mengkaji Surat At-Taubah. Sejak mula ayat pertama, surat ini banyak bercerita tentang penegakan keadilan atas sikap musyrikin dan gambaran perilaku kaum munafiqin.
Ciri sifat munafiqin ini menjadi fokus keprihatinan para santri, karena sifat nifaq kerap hinggap menjangkiti komunitas muslim dan memecah belah persatuan iman. Diantara bukti upaya pengkhianatan munafiqin saat itu adalah membuat masjid tandingan.
Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan Masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mu’min), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mu’min serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan.” Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).” (QS. At Taubah : 107).
Di saat Rasulullaah Muhammad masih hidup, masjid dhiror dibikin oleh kaum munafiqin untuk menciptakan bencana kemudharatan, sebagai bentuk oposisi perlawanan, sekaligus pengembangbiakan virus jamaah ashobiyah. Namun alhamdulillaah seketika itu juga, atas bimbingan wahyu Allah dan waskita kepemimpinan Rasulullah, bahaya adu domba bisa dicegah secepatnya.
Empat belas abad sepeninggal Rasulullaah, ribuan masjid kini subur bersemi. Rumah ibadah ini menanti di tepi jalan arteri, di lurung-lurung kampung, di antara rumah-rumah warga desa, di belantara kota, di pinggir basement parkir, di sudut bantaran laut, di tengah gedung megah, didesain cetak biru nan mewah dan tegak berserak meliputi kolong bumi. Ada kala terasa bangga jika harganya dibangun bernilai sekian trilyun.
Untuk pembiayaannya, sebagian harus dimintakan proposal lewat acara amal, sebagiannya ditadahkan bantuan via sumbangan jalanan atau kotak Jum’atan. Sementara pembangunan masjid lainnya cukup menanti uluran dermawan uwak haji atau arisan tiban kaum politisi.
Seperti di negeri kita ini, masjid sudah menjadi bagian dari budaya identitas agama warganya. Di beberapa tempat, kita bisa tahu betapa pengamalan keislaman –seolah terlihat– tumbuh menguat. Begitu semangat hingga letak masjid dibangun berdampingan sangat dekat.
Saya dan para santri yang sedang mengaji tafsir masjid dhiror ini, hanya terbatas bisa membaca literasi terawangan mufassirin saja. Kami para santri, sebagaimana saya yakin pembaca juga, belum tahu di mana sesungguhnya lokasi masjid dhiror ini.
Namun logikanya, jika pada masa Rasulullaah hidup saja bangunan masjid dhiror itu sudah ada, maka saat ini keberadaannya mungkin ada. Karena kita tidak sedang dibimbing langsung oleh Rasulullah, maka untuk mengenali masjid dhiror ini, kita harus sangat teliti dan cerdas mendeteksi.
Pertanyaan yang berkelindan di seputar diskusi kami, diantaranya adalah “Apakah definisi dhiror itu berkaitan dengan ciri masjid yang gemar mengkhutbahkan perpecahan, berjamaah eksklusif ashobiyah, serta hanya berfungsi pewacana ritual agama tanpa bisa menyelesaikan persoalan fakta sosial umatnya?
Mungkinkah ciri masjid dhiror ini suka mencuci lantainya saat kita –yang bukan dicatat kelompoknya– tidak sengaja sholat di tempat mereka ??? ataukah masjid yang jamaahnya hobi memprovokasi telunjuk takfiri ???”
Sebagai pembanding benchmarking, saya mengajukan fakta kisah sejarah bahwa sewaktu Rasulullaah dulu, bangunan masjid Quba dibuat terbuka dan berbentuk sederhana. Masjid yang dibangun Rasulullaah pertama kali saat hijrah ke Madinah ini, atapnya pelepah daun kurma, berlantai pasir tanah, dan dindingnya cuma setengah.
Tapi walaupun konstruksi fisiknya bersahaja, manfaatnya serba guna dan barisan jamaah sholatnya terisi penuh dari dzuhur sampai Subuh. Masjid di jaman Rasulullah bermasyarakat sebagai tempat berlutut menangis sujud, mengikhlaskan kaul pelayanan, bukti totalitas iman ketauhidan, sarana penguatan mental spiritual, berbagi potensi amal sosial, dan penghuninya berlomba meraih derajat 99 % akhirat.
Kini kita dapat melihat sebagian masjid berkubah mewah, bernilai-jual mahal, dan berasitektur masyhur. Tetapi jamaah mentok setengah, berisi hanya sepekan sekali, penuh pas Idul Fitri atau hari Raya Haji.
Selebihnya, masjid sekarang kerap jadi perangkat kaum politis-oportunis untuk berebut pengikut, pamrih “amal sosial” modal electoral, menitipkan kepentingan pencitraan, atau sekadar wahana safari keagamaan untuk mendongkrak peluang keterpilihan. Masjid dialihfungsikan –oleh oknum cendekia agama kita– sebagai tempat uji kompetisi mengais rejeki 1 % duniawi.
Pembaca, tahukan Anda alasan kaum munafiqin membangun masjid dhiror di saat Rasulullah sudah punya masjid Quba? Ya, mereka bersumpah bahwa alasan pembangunan hanya untuk kebaikan. “In arodnaa illal-husnaa,”kata bualan mereka.
Sekalipun jelas bahwa efek dari masjid dhiror ini akan berdampak negatif, yakni perpecahan ikatan keimanan, mereka tetap ngotot berdalih demi kemaslahatan. Dan Allah menjadi saksi bahwa pendiri masjid dhiror ini sesungguhnya pendusta (QS. 9:107).
Bagaimana jika suatu saat kita mendengar selentingan kabar bahwa sebuah masjid dituduh dhiror? Tentu kita tidak boleh lekas percaya begitu saja, apalagi langsung terprovokasi menghakimi dengan tindakan perobohan. Karena selain kita harus menghormati tata hukum positif Indonesia, tidak ada yang betul-betul ahli memverivikasi identitas masjid dhiror ini.
Bahkan bisa jadi, pihak-pihak yang hobi memfatwa takfiri dan menyebar rumor masjid dhiror, justru jamaah masjid dhiror itu sendiri.
Sebatas kebolehan yang bisa kita lakukan adalah hati-hati dan mawas diri. Saya sampaikan pada para santri di akhir diskusi tadarrus surat At Taubah, bahwa kemungkinan definisi dhiror di jaman sekarang tidak hanya berupa fisik masjid saja. Tapi bisa jadi, dhiror telah bermutasi ke sikap pribadi-pribadi. Mereka para cendekia agama, saya dan juga para pembaca awam muslim semua, berpotensi tertular sebaran virus agitasi dhiror ini.
Diantara ciri perilaku pribadi dhiror yang patut kita prihatini, adalah membenarkan kekeliruan, ngotot ogah diingatkan, mengklaim monopoli satu-satunya keimanan, mudah menajis-kafirkan liyan, dan tingkah dakwahnya kerap memecah belah atau materi yang dibawa bertema propaganda SARA.
Peristiwa konflik sosial di Indonesia hingga intrik politik yang menggelora di Timur Tengah sana, menyisakan pelajaran bahwa peran masjid kini banyak berganti tupoksi. Masjid yang semula bermanfaat sebagai pengayom umat dan penyatuan iman, bermutasi menjadi pemecah belah akidah sekaligus pembibitan dendam kebencian antar keyakinan.
Saya dan pembaca semua tetap tidak tahu, yang mana masjid dhiror itu. Kita hanya bisa mengandalkan petunjukNYA dan berdoa semoga perilaku dhiror ini tidak menggerogoti kerukunan umat beragama di Indonesia serta persatuan muslim dunia.

Thursday, April 17, 2014

Benarkah kita Santri SPMAA ?

Sebagai santri SPMAA tidak ada itu, kata alumni / lulusan. Karena kita sebagai santri SPMAA itu sehidup-sekembali, jadi tidak ada istilah kalau sudah menikah/sudah punya anak/cucu lalu kita berhenti mengamal-sebarkan ajaran Bapak Guru ini.

Kita bisa disebut LULUS jadi santri Bapak Guru Muchtar kalau sudah wafat Khusnul khotimah, bersama beliau disurga. Itu baru disebut lulus. Kalau cuma sekedar pernah dakwah / sedekah ratusan juta, berpuluh-puluh hektar tanah, rumah  & mobil mewah, itu belum cukup untuk menebus 1 nikmatnya Allah berupa Mata atau Oksigen yg kita hirup sitiap hari. Apalagi yg kita andalkan agar bisa mendapat surga!.

Trus bagaimana agar kita bisa selamat wafat khusnul khotimah?

1. Kuat-kuatkan berdo'a dimanapun berada terutama diakhir malam (hanya semata-mata karena Allah)
2. Siap diremehkan
3. Banyak Bersedekah
4. Taat Pemimpin / Komando (Bapak Guru Waktu mau berangkat ke Malasia menunjuk Gus Hafidh, Gus Khosyi'in, Gus Glory, Gus Naim sebagai penerus. Dawuh Beliau sebelum ke Malysia: "sampean kabeh gak usah bingung, sedeh, susah. Selama kulo tinggal niki gus hafidh, gus khosyi'in, gus glory & gus naim iki seng nganteni / nerusno aku". (Indonesia "Sampean semua tidak usah binggung, sedih & susah. Selama saya tinggal ini Gus Hafid, Gus Khosyi'in, Gus Glory & Gus Naim yg Mengantikan / Meneruskan saya")

Itu semua adalah dawuh langsung dari beliau bapak guru Muchtar waktu beliau masih membersamai kita. Dari ke Empat kriteria itu kita tidak bisa hanya mengambil salah satu / meninggalkan salah satu kriteria itu, karena karena dari semua kriteria/syarat itu SATU PAKET, ngak bisa dipisah-pisah.

Jadi jika kita merasa dan ngaku jadi santrinya Bapak Guru ya, mari melaksanakan apa yg diprintahkan dan diteladani beliau selama ini.

Dalam hidup beliau ngak berani tidur di kasur selama santri-santri tidak pakai kasur, ngak berani makan lebih enak dari apa yg dimakan santri sehari-hari.

Hendak dibelikan mobil oleh putra beliau dan sudah DP uang, tapi apa kata beliau? "putraku semua, dulu abi bangun jembatan dari kayu jati untuk akses masyarakat ke sawah mereka, nah sekarang ko' roboh. Bagaimana kalau uang untuk beli mobil itu dibuat mbangun jembatan"



"Kedua" kata beliau, "Nanti kalau kita beli Mobil, takutnya santri-santri ngak jadi kepengen ilmunya allah yg dibawa abi ini, malah kepengen mobil. Ketiga, Nanti kalau kita beli mobil, kasihan tetangga kanan-kiri kita yg apalagi beli mobil, untuk sekolah anak saja sempoyongan, dunia ngak dapat, akhirat juga ngak. betapa kasihanya.

Akhirnya sampai beliau Bapak Guru Muchtar wafat beliau ngak punya mobil, padahal tujuan putra-putra beliau membelikan mobil itu agar kalau beliau diundang pengajian keluar daerah itu ngak usah nyewa mobil. 

Karena kalau dihitung-hitung dalam 3-4 bulan saja uang untuk nyewa mobil, sudah bisa untuk beli mobil sendiri. Apalagi beliau kalau diundang pengajian itu tidak pernah mau dikasih upah (amplop) apalagi pasang tarif pengajian! jelas tidak.

Tapi karena ada kebutuhan Agama, Bangsa yg lebih penting akhirnya lebih dipentingkan mbangun jembatan daripada beli mobil.

Nah sekarang kembali ke kita yg merasa santri SPMAA, sudahkah kita berusaha mencontoh Bapak Guru? sampai mana kita mengamalkan ajaranya?

Sekarang yg jadi tangisan gus-gus saat ini, itu kebanyakan santri justru ungulan-ungulan harta-benda, pangkat kedudukan Dunia. Rumah Mewah, Anaknya dibelikan Motor Ninja, adiknya dibelikan Fixion, Istrinya dibelikan Mobil dls.

Padahal teladan hidup kita Bapak guru Muchtar, Rumahnya terbuat dari sesek bambu, ngak punya motor/mobil lantas kita mencontoh siapa? para nabi mulai Nabi Adam-Nabi Muhamad juga dalam sejarah hidupnya juga selalu prihatin dan penuh kekurangan dan coba'an.

SIAPA YG KITA CONTOH???

Bapak Guru menjalani hidup seperti itu bukan ko' karena tidak punya uang loh! beliau tidak memuaskan nafsu dunia itu karena tau kenikmatan Akhiratlah yg 99% dunia cuma sementara (tipuan semata).

dan karena takut santri-santri beliau jadi kepingin kenikmatan dunia daripada ilmunya bapak guru. lha skarang kita ko' justru mengejar kenikmatan dunia, menyampingkan ajaran bapak guru!

Ayo prihatin, dan segera menaubatinya sebelum ajal tiba.




Industri Jasa Pencucian Dosa

Tulisan ini saya awali dengan mengangkat cerita yang berbeda nasib tokohnya tapi bertema serupa. Kisah pertama tentang kerabat dekat di desa saya yang lumayan duafakeadaan hidupnya. Ia seorang janda tua dengan 6 orang anak.
Sejak ditingggal wafat suaminya yang bekerja sebagai carik dengan penghasilan pas-pasan, ibu ini kian berat menghidupi keluarganya sehari-hari. Gali lobang tutup hutang sudah biasa dikerjakannya.
Sampai suatu hari sekitar dua tahun lalu, saya mendengar ia menjual lepas sawah satu-satunya —harapan investasi masa depan utama dan jaminan ketahanan pangan keluarga—kepada kerabatnya yang lebih kaya.
Mulanya saya bersyukur karena saya kira hasil penjualan properti pribadi ini akan digunakan untuk melunasi tanggungan hutang yang menggunung. Mungkin juga sisanya untuk modal investasi usaha ekonomi produktif yang dikelola keluarga. Ternyata tidak. Perkiraan saya meleset jauh.
Uang hasil jualan sawah itu disimpan untuk rencana ziarah haji ke Makkah. Konon, menurut hasil konsultansi dengan ahli agama yang dipercayainya, semua beban pinjaman hutang yang ia tanggung bisa “didoakan” dan “diberkahi” dari tanah suci. Plus semua dosa-dosa selama hidupnya akan diampuni dan diganjar surga jika ia berhasil sampai di sana.
Berharap baik akan terpenuhi janji ahli agama ini, ia pun rela melepas sawah satu-satunya —usaha produktif yang tersisa milik keluarga.
Namun tanpa dikira, kerabat saya ini tidak bisa begitu saja mengikuti proses hajinya dengan segera.
Selain harus melalui sistem arisan bergiliran diantara jamaah pengajian –semacam pola MLM–, uang hasil penjualan sawah mulai habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ditambah lagi, anak-anaknya berebutan meminta bagian warisan. Kloplah sudah.
Cicilan perjalanan haji yang ia titipkan lewat menantu keponakan yang dipercayainya sebagai orang pinter agama –bukan di rekening bank—kini mandeg. Hasil jual sawah yang awalnya berjumlah puluhan juta kini tersisa ratusan ribu saja.
Mimpi ke tanah suci untuk menghapus dosa dan meringankan beban hutangnya, kini terancam pupus. Sementara usaha satu-satunya sudah tergadai putus. Ibu janda tua kerabat saya ini baru menyadari keputusannya yang keliru itu dengan sesal tangis. Betul-betul tragis.
Apa yang menimpa kerabat ini juga menimpa tetangga saya di desa. Banyak dari mereka yang menjual sawah satu-satunya milik keluarga demi kuota kursi haji yang mesti ngantri 12-15 tahun lagi. Ongkos haji dicicil dengan iuran arisan.
Beberapa dari mereka nombok hutang pinjaman di lembaga jasa keuangan –yang pasti berlipat bunga cicilannya. Sebagian yang tidak kuat, kemudian menggadaikan sertifikat tanah sawah. Sebagian lagi sudah keburu wafat sebelum berhasil berangkat – kelamaan menanti antrian pemberangkatan???
Penyampaian informasi yang salah tentang prioritas ibadah oleh cendekia agama, jadi penyebab tragedi “konspirasi kemakmuran” ini. Maaf, jika kondisi ini –menurut kebodohan saya—manfaatnya baru menyapa pelaku niaga ziarah tour saja.
Riil fakta di kaum awam desa yang tahunya cuma gelar H, manut pada “iklan pengampunan+rukun kesempurnaan” yang dijanjikan oknum cendekia –merangkap pengusaha tour ziarah agama. Persis seperti yang dialami kerabat saya tadi.
Pada kisah yang serupa, banyak diantara sosialita kita –dari pejabat tinggi maupun selebriti—yang memanfaatkan perjalanan ke tanah suci sebagai “pembasuhan kekeliruan”.Epok-epok sesaat istirahat dari perbuatan maksiat. Bahasa satir prokem kita mengenalnya sebagai ciri taat “tomat” –berangkat TObat, pulang kuMAT.
Peluang ekonomi ini kemudian dikomersialisasi oleh oknum pebisnis jalanan sebagai industri bergelimang uang. Dapatlah rantai supply and demand. Mirisnya, oknum cendekia agama kita kerap terlibat mesra di dalamnya.
Muncullah perjalanan rombongan bareng ahli agama ini, duet ziarah suci bersama artis alim ini, rekreasi ruhani, wisata religi, dan paket-paket “tour safari agama” lainnya.
Pikiran cekak saya sering menggugat, “Lha wong kadang empat rukun wajib sebelumnya saja mereka tidak taat, kok sudah “diprovokasi” cepat-cepat berangkat? Lalu di mana letak nilai ritual suci ibadah bersyarat “manis-tatho’a” ini ? Apakah bisa kaum awam ini mau terbang mabrur dengan cara ngawur ?”
Pada kasus kerabat saya misalnya, akan lebih baik dan arif bijaksana jika tokoh agama memberikan tarbiyah tentang prioritas ibadah. Anjurkan mereka melunasi hutang, membayarkan zakat secara rutin, melaksanakan sholat fardlu ‘ain, puasa wajib dan sunnah, serta amal-amal sosial sebagai ejawantah syahadat ilahiah.
Karena itulah sebetulnya esensi haji, dimana pengorbanan dan ketiadaan kepemilikan properti pribadi akan diuji.
Dus, berangkat haji ke tanah suci, adalah dengan syarat ketat “bagi yang mampu”. Mampu setelah menunaikan seluruh kewajiban beramal, mampu secara jaminan finansial dan mampu melaksanakan tanggungjawab sosial. Ini yang kerap luput disampaikan para cendekia agama kepada umatnya.
Pada kasus kerabat saya misalnya, tokoh agama harusnya mewajibkan dia melunasi hutang dulu. Bukan malah “memprovokasinya” untuk ziarah ke Mekkah –dengan janji pengampunan dan makbul doa kemudahan melunasi pinjaman.
Saya menyeru pembaca, masih banyak cara yang bisa kita tempuh untuk menggiatkan kaul pelayanan serta pengabdian kepada Allah –sebelum kita mantap diri ke tanah suci.
Misalnya “haji” sosial dengan cara muhibah amal menyambangi dan mendonasi para duafa di penjuru bumi pertiwi ini, saya rasa lebih berdimensi ilahi dan manusiawi.
Secara Indonesia, gerakan ijtihad “haji” muhibah amal sosial ini akan membawa dampak bagi masyarakat banyak dan lebih berasa manfaat langsungnya.
Mungkin cara pandang alternatif “haji” ini terlalu ekstrim “kanan” bagi sebagian rekan, atau malah saya difatwa blasphemy-sesat-gila. Tetapi setidaknya saya harus berkaca pada kisah tukang jahit sepatu yang secara fisik “gagal” menginjakkan kaki di tanah suci.
Meski tidak di tanah suci, namun karena ia ikhlas menyedekahkan semua uang simpanan calon biaya pemberangkatan hajinya untuk mengobatkan tetangga yang sakit, ternyata ia malah dicatat malaikat sebagai Haji Mabrur.
Pembaca, saya tidak berani mencela kesakralan ritual religi, apalagi menyalahi rukun haji. Pelaksanaan haji tetap wajib bagi setiap pribadi dan penting untuk diikhtiari. Setiap muslim seperti saya, pasti berkeinginan menyambangi Baitullah yang mulia,
Kapasitas tulisan saya hanya membuka wacana bagi pelurusan pemahaman kita semua tentang nilai prioritas ibadah yang perlu diejawantah. Semoga saja tidak terjadi prasangka “bisnis suci” ini sebagai modus ekonomi saja atas tata niaga waralaba agama.
Mari kita berhati-hati menyikapi ajakan yang menggampangkan makna perjalanan haji nan suci ini. Karena kesembronoan penafsiran dan kepedean berperan jadi “tuhan” yang menjanjikan obral ampunan bisa berakibat sangat mencelakakan.
Jika memang sekadar begini “pemelintiran” makna ritual religi ke tanah suci –yakni kepastian pengampunan dan kemudahan doa-doa keduniawian– maka afdolnya suruh saja itu pelaku korupsi arisan pergi haji dan dosanya pasti digaransi terampuni.
Seterusnya kekeliruan akan kian merajalela atau berjatuhan korban keawaman akibat marak fenomena “industri jasa pencucian dosa” yang manis iklannya digencar getok tular para oknum cendekia agama.
Saya hanya berharap-harap doa, semoga anomali dan ironi yang membawa korban seperti kerabat saya tadi –akibat salah memahami prioritas ibadah serta modus ekonomi bisnis ziarah religi–, tidak terjadi lagi di bumi Indonesia ini. Aamiin ya robbal alamin.

Saturday, April 12, 2014

Aliyyaa

Tersebutlah sebuah nama di negara wilayah Afrika sana. Pemilik nama ini mengklaim sebagai pejuang kebebasan beragama dan persamaan hak wanita.

Misi yang diusungnya ialah ingin “membuat semua manusia setara derajatnya dengan tanpa membeda-bedakan jenis  keyakinan atau lekuk aurat badan”. Untuk aksi ini, ia kerap nekad bernyali telanjang tanpa sehelai benang dalam setiap unjuk rasa yang digelarnya.
Alia, demikian ia mengakui namanya. Secara nahwu bahasa, Alia ini memiliki makna “tinggi”. Saya percaya orang tuanya berkeinginan supaya Alia berderajat mulia sebagaimana arti namanya.

Tapi entah bagaimana, si Alia ini punya versi sendiri dalam mengeja kemuliaan namanya. Ia mungkin memahami, bahwa “ketinggian” nama derajatnya ada pada “kampanye kesetaraan” yang tidak dibatasi badan dengan cara bugil berunjuk rasa.

Pada kisah lainnya, Al Quran menceritakan tentang kekuatan, kesabaran, kemuliaan, kecerdasan dan keunggulan seorang Ibu Maryam. Beliau adalah orang tua tunggal  dari Rasulullaah Isa ‘alaissalaam.
Jauh sebelum ada teori single parent, Ibu Maryam sudah mempraktikannya melalui kelahiran dan pengasuhan putera satu-satunya. Rahmat hebat yang diberikan Allah SWT pada Ibu Maryam mengilhami kita semua tentang figur wanita teladan yang patut dipahlawankan.

Sebagaimana kita sering tadarus bersama, di dalam surat Maryam tertulis beberapa cerita keteladanan yang patriotik dan heroik. Diantara cerita itu ada nama Ibu Maryam, ibu kita semua, terutama ibu muslimah dunia.

Di surat Maryam inilah, Allah mengajarkan ta’alimuta’alim dalam menghormati para pahlawan ini. Kalimat yang tersurat di sana adalah, “wa rofa’naahu makaanan ‘aliyyaa (dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi)” ~QS. 19:57~

Dua nama yang saya tulis ini memiliki kesamaan kata, yakni “Aliya”.  Keduanya bermakna “tinggi”. Hanya saja, satu baru teraksara dalam nama yang berusaha dipopulerkannya.
Sedang satunya sudah sah ditetapkan oleh firman Tuhan dalam Al Quran dan diakui oleh umat beragama sedunia.

Terdapat perbedaan tajam antara kisah Ibu Maryam dan si Alia dari Afrika, walau keduanya diproyeksikan sebagai simbol pembela kaum beragama dan hak wanita.
Si Alia ngotot –katanya– memperjuangkan kebebasan pilihan untuk tidak beragama dan kesetaraan derajat wanita dengan cara menelanjangi badannya.

Ia mempersilakan dunia melihat kemaluannya secara cuma-cuma.
Agama diprotesnya sebagai aturan keterpaksaan yang terlalu membatasi hak badan.
Lewat demo bugilnya, si Alia seperti hendak berteriak kepada khalayak,  “Ya saya demonstran anti ketuhanan. Tanpa aturan agama, saya si Alia yang bermakna “tinggi” ini bisa terkenal jadi sosialita sedunia!”

Sebaliknya Ibu Maryam menjalani laku “nyepi” di dalam hijab mihrab. Beliau seorang anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya, khusyuk beribadah ruku’, dan bersuci dari godaan lelaki.

Ibu Maryam suka rela hidup beragama menjalankan kaul pelayanan Tuhan dan menikmati segala ujianNYA tanpa dipaksa-paksa. Beliau membuktikan kodrat kewanitaan bisa menghadirkan relasi keibuan yang penuh kasih sekaligus bakti ketuhanan secara berlebih.

Untuk prestasi Ibu Maryam ini, Allah memberikan ucapan selamat sholawat, “wa salaamun ‘alaihi yauma wulida wa yauma yamuutu wa yauma yub’atsu hayyaa ( dan kesejahteraan bagi dirinya pada hari lahirnya, pada hari wafatnya, dan pada hari dia dibangkitkan kembali) ~QS. 19:15~
Pembaca Lentera, saya berikan tawaran kepada kita semua untuk cerdas memahami dua pilihan “derajat tinggi” atau “Aliyyaa” ini.

Pilihan pertama bersirobok aksi sok keren aktifis femen si Alia dari Afrika yang ngakunya menyuarakan  aspirasi komunitas atheis dan feminis liberalis.

Tawaran kedua menemui Ibu Maryam yang mewakili representasi kaum ibu sekaligus mewartakan derajat mulia umat beragama. Mau memilih yang mana, itu hak kita.

Jika percaya suara Alia, berarti kita seiya untuk tidak beragama. Kita mendukung eksistensi sekte nudis ini yang hobi menelanjangi diri di tempat-tempat berkumpulnya masyarakat.

Kita bersepakat menyuarakan “pengusiran” Tuhan dari sendi-sendi kehidupan dunia ini.
Sekaligus kita juga yakin, bahwa derajat dan martabat kaum wanita semestinya diumbar saja kepada dunia lewat pertunjukan etalase kemaluan tanpa perlu malu-malu. Sebab menurut logika cekak Alia, agama terasa memenjara wanita dari kebebasan syahwatnya.

Jika kita lebih memilih ikut Ibu Maryam, tentu kita harus mau bersukarela beragama, walau aturannya kerap “memaksa”. Kita berhijab dalam mihrab dengan cara berpakaian rapat menutup aurat.
Kita bangun hubungan keintiman dengan Tuhan yang terejawantah dalam setiap amal aspek sosial dan lingkungan kemasyarakatan.

Kita tunjukkan marwah dan barokah kaum ibu beserta kodrat kewanitaannya sebagai rahim peradaban mulia insan. Sehingga ia perlu dijaga kehormatannya dari upaya penelanjangan dunia.

Ibu Maryam meneladankan kepada kita  bahwa kebebasan beragama justru diperolehnya ketika ia menjadi wanita, di mana ia bisa menjalani kodratnya sebagai manajer keluarga sekaligus mengepalai madrasah rumah.
Jika kita ikhlas menirunya dengan segala resiko tidak enak dan atau dicibir khalayak, berarti kita siap menempati derajat tinggi, sesuai makna “Aliyya” sesungguhnya.

Tentu saja saya bersepakat pada suara Ibu Maryam ‘alaihassalaam. Karena beliau terbukti sebagai “’Aliyyaa” sejati dengan melahirkan Al Mahdi, yakni Rasulullah Isa yang kita percaya sebagai utusanNYA.
Ibu Maryam patut kita turut sebagai figur wanita mulia dan teladan keluarga muslim/muslimah sedunia.
Sedangkan si Alia dari Afrika hanya bisa memamerkan kemaluan dan mendemonstrasikan protes kewanitaan lewat cara asusila.

Alih-alih percaya cita-cita mulia orang tuanya, Alia malah mendegradasi diri dengan mem-bully nama akhir “al mahdi” sebagai dagelan “iman” bersyahwat kebebasan dan pertunjukan budak spekulan kepentingan.
Ia gagal mencitrakan diri sebagai wanita merdeka yang bermartabat tinggi nan mulia di hadapan dunia dan penciptaNYA. Semoga saja kita semua tidak tertipu atau lugu meniru drama Alia versi XXX ini.

Thursday, April 10, 2014

Tuesday, April 8, 2014

Menjadi Wali

Apa yang terlintas tanya di benak pembaca saat mengeja judul ini  –mungkin– sama dengan yang saya pikirkan. Yakni bagaimana mungkin kita orang biasa ini bisa menjadi wali yang —secara awam banyak dipahami— merupakan representasi manusia kesayangan Tuhan, laku diri bertabiat suci, ucapannya bermuatan sabda pandita raja, dan kalimat doanya bertuah ijabah serta karomah?


Jawabannya adalah mungkin saja. Tentu saya tidak bermaksud akan mengubah gaya keseharian anda, misalnya ganti penampilan seperti gambaran wali di poster atau buku cerita itu.

Saya juga tidak hendak mengkonversi  Anda menjadi “orang sakti” yang saat wafat kembali ke bumi lalu kuburannya diziarahi. Tidak.

Ijinkan saya terlebih dulu menyederhanakan dan “mengecilkan” makna wali itu.

Sebatas literasi yang saya pahami, makna wali dapat dibahasakan singkat lewat kata “kekasih pengayom, pelindung, pengawal, pengampu, pengelola, penggembala, pengasuh, pembimbing, pengawas dan penasehat.”

Para wali sering diidentifikasi sebagai pribadi yang memiliki kelebihan pengetahuan serta kekayaan keteladanan yang dimanfaatkan untuk melindungi dan melayani umat.

Untuk memudahkan pemahaman kebahasaan, mari kita cari padanan istilahnya. Dalam disiplin tradisi pengasuhan bayi, istilah wali bisa disejajarkan pelayanannya semirip baby sitter.

Dalam pendidikan ke-TNI-an, tupoksi wali menyerupai peran bimbingan asuh (bimsuh), pembinaan mental (bintal) dan binjas (pembinaan jasmani). Di struktur organisasi yayasan, keberadaan wali ini bisa disamakan dengan posisi pembina dan pengawas sekaligus.

Nah, berangkat dari penyederhanaan istilah wali ini, saya ajak kita semua untuk berikhtiar pintar belajar menjalani tupoksi wali. 

Ya, Bismillaah, saya seru kita semua untuk kembali menapaktilasi jejak para wali dalam upaya pelayanan kebangsaan dan pengabdian beliau-beliau itu.

Kita awali lewat aksi-aksi kecil yang riil dan berdampak banyak bagi perubahan positif kebaikan ke depan. Kita coba dengan cara sederhana tanpa melalaikan rutinitas pekerjaan harian.

Di asrama pesantren SPMAA yang kami kelola, setiap santri dimotivasi jadi “Wali Sandal”. Praktiknya, mereka dilatih untuk menempatkan sandal seperti pengaturan parkiran dengan ujung sandal menghadap ke depan.

Caranya setiap memasuki masjid, asrama, atau lokasi-lokasi bertuliskan “SUCI”, mereka harus melepas sandal dengan memutar badan terlebih dulu. Sehingga dengan begitu, sandal akan otomatis tertata menghadap ke depan dan siap digunakan.

Begitupun setiap kali para santri mendapati sandal berserakan di lokasi pembelajaran, mereka harus segera merapikan sandal itu tanpa menunggu disuruh dulu.

Awalnya praktik ini sulit diikuti. Tapi setelah lama, bertahun-tahun dicoba, kini hasilnya nampak rapi. InsyaAllah tidak ada penampakan sandal berserakan.

Pun, tugas “Wali Sandal” ini sekaligus mengawasi kebiasaan penggasapan (pinjam tanpa ijin) dan atau membina para kriminal “update sandal” (baca, pencurian) yang kerap terjadi di lingkungan santri.

Terutama saat sholat Jumat, “Wali Sandal” ini akan bekerja mengasihi, menata sekaligus menjaga sepatu dan sandal para jamaah dari kaki-kaki jahil yang hobi ngutil. 

Latihan pembiasaan perilaku baik itu prosesnya nampak sederhana. Tapi dampaknya luar biasa, terutama mengubah kebiasaan wanprestasi para santri yang kerap nggasap dan menelantarkan sandal tidak beraturan.

“Wali Sandal” ini setidaknya berhasil membujuk mereka untuk sadar kerapian dan keindahan.
Melalui ikhtiar latihan menjadi “wali imitasi” ini, para santri dapat menunjukkan teladan akhlak mulia keislaman. Mereka belajar jadi “wali” yang menjaga dan melindungi praktik keislaman di tengah fakta fenomena palsunya pengakuan beragama. 

“Wali Sandal” merupakan transformasi santri yang kerap jadi representasi kaum priyayi, hijrah menuju figur pribadi santri yang siap mengasihi dan melayani.

Upaya itu dimulai lewat aksi kecil yang riil namun bermanfaat personal dan berdampak sosial: menata dan menjaga sandal.

Anda pun bisa segera memulainya bersama keluarga atau di lingkungan kerja. Jadilah “wali lingkungan” yang mengasihi, menata dan merawat kebersihan hunian atau ruangan di tempat kita berhabitat. Mulailah dengan sampah.

Terapkan kesadaran 3R dengan “memanfaatkan sampah sesuai kegunaannya”, bukan lagi cara lama “buanglah sampah pada tempatnya”.
Pada level kedisiplinan yang relatif rendah, pilahlah sampah. Mudahkan petugas kebersihan untuk menyelesaikan tanggung jawab mereka dengan “sadar sampah” kita.

Di lingkungan pembelajaran, kita semua bisa jadi “wali studi” bagi peserta didik dan segenap civitas akademik. Jalankan fungsi bimbingan konseling secara serius dan fokus serta dibarengi asas taat waskat.

Setiap guru memiliki jiwa penggembala, sehingga setiap siswa wajib dijaga dari ancaman serigala dunia. Semua warga sekolah diedukasi menjadi “wali” yang berkekasih ilahi dan tidak terburu menurutkan nafsu ego libido.

Wali murid betul-betul dikondisikan jadi “wali studi” yang mengerti dan segera antisipasi gejala pubertas muridnya.

Dengan begitu, kasus amoral dan asosial yang merajelala di ruang belajar anak-anak kita, bisa dikendalikan pertumbuhan jumlahnya –jika tak bisa dinolkan. Paling penting, peran ibu dan bapak yang sepatutnya menjadi “wali keluarga”.

Afdolnya mereka turut menjaga, mengawasi, membina, dan mengasihi anak-anaknya secara manusia. Bukan cuma menitipkan anak ke sekolah saja. Karena tanpa peran serta dukungan keluarga, pembelajaran di sekolah hanya akan berbuah stempel  lulus akhirussanah di lembar ijazah. Tidak lebih.

Di dunia pergaulan virtual, kita bisa jadi “wali maya”. Tugasnya mengedukasi, menjaga, mendampingi, memelihara konten-konten yang diakses anak atau keluarga kita, supaya tetap berada di jalur aman fungsi pembelajaran.

“Wali Maya” ini sekaligus bentuk kasih sayang kita kepada keluarga dan bangsa, agar tidak jadi korban penyalahgunaan teknologi informasi sebagaimana kerap terjadi akhir-akhir ini – misalnya pornografi dan perdagangan perempuan.

“Wali Maya” juga berguna untuk aksi cegah tangkal (cekal) bahaya radikalisasi ideologi, propaganda SARA, berita pemecah belah, dan politik intrik yang banyak dijual lewat interaksi virtual.

Kita bisa bekerja sama dengan piranti “wali maya” lainnya seperti DNS Nawala, ID-SIRTII, cyber crime unit Polri, koter TNI, dan unsur masyarakat yang berminat ikut terlibat.

“Wali maya” ini nanti sekaligus berfungsi jadi “wali nagari” yang melindungi keamanan informasi dari ancaman pencurian, penyadapan dan peretasan pihak yang ingin merusak.

Kita juga bisa menjadi “Wali Media” yang mengasihi insan pers dengan kritik konstruktif atas kerja-kerja mereka. Sesekali bacakan Al Fatihah untuk pewarta dan pemilik media, supaya mereka mau kembali pada idealisme jurnalistiknya, tidak melulu bisnis berita pesanan saja.

Atau setidaknya dengan menjadi “Wali Media”, kita bisa menjaga asupan informasi di keluarga kita, supaya tidak segera percaya dan mengamini begitu saja “seruan” berita yang muncul di media.

Kita niati ikhtiar menjadi “wali” ini, semoga  Indonesia kembali pada takdir baiknya, yakni secuil potongan surga di dunia yang penghuninya saling mengasihi bersaliman penuh interaksi sosial kerahmatan. Aamiin.

By: Gus Adhim

Saturday, April 5, 2014

Sabtu Seru

Kepada gegeremetan fauna melata
kawanan semut-semut yang sahaja
rambatan flora aneka rupa dan warna
aku belajar menghamba sahaya padaNYA

kepada matahari di ufuk langit tinggi
aku menapaktilasi arti fusi energi
memahami makna peluruhan jiwa
bahwa tidak ada apa-apa di fana dunia kecuali semata dzatNYA


kepada partikel tirta samudera
aku belajar jembar bersenyawa
dalam dzikir akbar semesta
mengelola riak-riak ombak nafsu yang ingin berontak
mengendali kekang tarikan gelombang angan-angan usia panjang

Kepada bumi yang rendah hati
aku belajar melakoni tugas sang abdi
menjalani rotasi setiap hari
melafalkan wirid pelayanan tanpa bosan
walau balasan dari manusia,
hanya timbunan sampah loba dari sisa-sisa kemaruknya

Kepada sungai, telaga dan air hujan
aku belajar mengalirkan arus pikiran
menarikan irama nafas dalam padu orkestra ikhlas
menyucikan syahwat sesat di sepanjang arteri nadi dan tepi hati

Pada lingkaran bulan dan selayang bintang
aku belajar mengeja aksara tanda cerdasNYA
aku juga menemukan semburat harapan kerawuhan Sang Utusan
yang membawa cahaya pengabaran kasih keselamatan Tuhan

Pada tegak gunung yang menjulang mendung
aku belajar sabar berteguh tanpa keluh
menjaga asa seluas hamparan mega
mengurai tangis keprihatinan, mendaki optimis kemenangan
hingga aku sekeluarga selamat tiba di aula ridho ampunanNYA.

#puisipagi #setengahati
~Sabtu Seru~

Friday, April 4, 2014

Fathul Indonesia: Kemenangan Tanpa Kekuasaan

Peristiwa Fathul Makkah yang ditandai dengan masuknya Rasulullah ke Makkah berlangsung aman. Gemuruh kalimat takbir, tahlil, tahmid, tasbih, dan istighfar bergetar membahana seiring panji tauhid yang berkibar merambati penjuru kota. Lembah Makkah terperangah menyambut seorang yang pernah diusir, dikejar dan hendak dibunuhnya: Muhammad bin Abdillah.

Sampailah Rasulullah di kompleks pelataran Ka'bah. Beliau memasuki Baitullah kemudian membersihkan patung-patung batu dari dalamnya. Setelah itu beliau berdiri di pintu Ka'bah sambil memandangi penduduk Makkah yang sejak awal berharap cemas menunggu pidato kemenangan Rasulullah.


Alhamdulillah, atas kuasa kasih Allah, pidato Rasulullah memuaskan harapan banyak orang, terutama kafir musyrik Quraisy. Dengan budi agungnya, Rasulullah mengampuni semua penduduk yang selalu berlaku kejam terhadap kaum Muslim di masa lalu. Mereka dibebaskan dari tuntutan dari hukuman. Tak terkecuali Abu Sufyan dan keluarganya yang menyambut gembira keputusan pengampunan Rasulullah itu.

Peristiwa Fathul Makkah dengan runtuhnya pamor Abu Sufyan dan kawan-kawan dapat dimaknai sebagai kemenangan raya. Galibnya sang pemenang akan menduduki tempat itu dan mematok berbagai macam tanda kekuasaan di daerah taklukan. Para pemimpin wilayah akan dilengserkan lalu ditawan sebagai pecundang yang kalah perang.

Namun Rasulullah disucikan dari nafsu ambisi kekuasaan yang melenakan. Ketokohan Abu Sufyan dibiarkan tidak dipreteli. Bahkan beliau menjamin siapa saja yang berlindung di rumah Abu Sufyan akan aman. Pun karena misi Rasulullah tidak bermotif pengawetan citra ketokohan, beliau hanya sebentar saja mukim di Makkah, selanjutnya kembali menetap hingga wafat di Madinah.

Fathul Makkah menyuguhkan pelajaran buat kita semuanya tentang kemenangan tanpa motif kekuasaan. Kemenangan bukan diniati sebagai tujuan akhir penguasaan pihak yang kuat terhadap yang lemah. Kemenangan itu tidak diawali obsesi penaklukan dan atau dominasi politik sebuah kelompok terhadap kelompok lain. Kemenangan itu tidak boleh dikotori nafsu fait accompli, klaim pemaksaan kebenaran ideologi agar semua orang tunduk mengikuti.

Rasululah telah meneladani kita semuanya, terutama Muslim Indonesia. Melalui Fathul Makkah, beliau menyejarah sebagai pemimpin yang qonaah dan tak tergiur korupsi imamah. Bisa saja beliau memanfaatkan kedudukannya untuk meraup harta sebanyak-banyaknya untuk mendandani anak isterinya, untuk memfasilitasi perjalanannya, untuk memperbaiki perabot rumahnya, untuk mengangkat citra wibawa kepemimpinannya, untuk melengkapi koleksi baju dinasnya, atau dengan alasan yang terkesan mubah: “demi kepentingah dakwah”.

Tapi semua itu tidak dilakukan. Beliau tetap dengan kesahajaannya. Hingga wafat, Rasulullah sangat-sangat jelata, walau kedudukan beliau saat itu setara dengan Raja Persia dan Kaisar Roma. Melalui teladan kepemimpinan Rasulullah, maka tesis Lord Acton bahwa power tends to corrupt menjadi gugur dan tidak menemukan kesesuaiannya.

Kiranya kita perlu bertanya dan refleksi kembali, terutama bagi saudara kita yang saat ini sedang berpolitik, sedang berdagang, berproses meraih jabatan, dan atau sedang mengharap kedudukan. Apakah niat awal hingga tujuan akhirnya ingin ikhlas berbagi kebaikan ataukah menurutkan ambisi duniawi dan godaan kekuasaan?

Apapun partai yang dikendarai, apapun proses politik yang dilalui, apapun bisnis yang digeluti, apapun jenjang karir yang dilakoni, koreksi kembali niatan awal kita. Jika masih tertanam loba harta dunia, maka sadarlah. Jika masih terdapat setitik nila rasa ingin berkuasa, maka undur dirilah. Jika terbersit niat ingin merasakan nikmat memerintah, maka hentikanlah. Jangan diteruskan. Karena itu keliru.

Loba harta dunia (hubbud-dunya) akan memaksa kita terseret sistem ribawi, hukum rimba, koruptif dan manipulatif. Obsesi kekuasaan akan memenjarakan nurani kita dalam kerangkeng kejahatan dan menjauhkan diri dari cahaya iman. Nafsu ingin memerintah akan membuat perangai kita semena-mena dan mengabaikan peringatan kebaikan. Semuanya itu bermuara pada sifat buruk: enggan sedekah, abai terhadap si miskin, kemaruk kaya, haus puja-puja, dan super ego yang menistakan norma keadilan.

Ayolah kita berhijrah dan berubah sebagaimana teladan Rasulullah. Seruan ini berlaku bagi penulis pribadi dan semua warga negara dunia, khususnya masyarakat Indonesia. Belajarlah dari Fathul Makkah. Kemenangan bukan bertujuan mencari dan mengawetkan kekuasaan. Bahwa kemenangan itu hanyalah proses yang semata dihadiahkan Tuhan. Kemenangan yang tanpa mengalahkan martabat kemanusiaan. Kemenangan yang berselera keadilan dan dinikmati oleh semua insan. Kemenangan itu adalah tangis pertobatan, menginsyafi kesalahan dan sujud pengakuan kekuasaan semata hanya milikNYA. Sebagaimana definisi kemenangan yang difirmankan Allah dalam Al Quran sesaat setelah peristiwa Fathul Makkah:

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan; dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah; maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-NYA. Sungguh, Dia Maha Penerima taubat”. (QS. 110 : 1-3)

Maknai secara nyata peringatan Tahun Baru Hijriyah 1432 kali ini sebagai kemenangan semua insan. Rangkaikan dengan renungan Hari Anti Korupsi yang diperingati tepat tanggal 9 Desember ini. Hiduplah sederhana, hindari sifat boros yang berlebihan. Jangan mau dirayu setan untuk berebut kedudukan, kebanggaan, kehormatan dan kekuasaan duniawi, karena itulah awal peluang korupsi. Mari wujudkan kemenangan tanpa motif kekuasaan dan harta benda dunia. Mari bertobat mengakui kesalahan. Mari bersujud mengakui kekuasaanNYA semata. Iringi selalu aktifitas kita dengan doa pujian harap restu bimbinganNYA. Itulah kemenangan kita semua. Fathul Indonesia !!!
Penulis: Gus Adhim
 

Pengikut